permainan dunia

permainan dunia

kewajiban seorang wanita

kewajiban seorang wanita

Kamis, 16 April 2009

Sistem Demokrasi: Penghambaan Sesama Hamba

Dalam surat yang dikirim kepada suku Najran yang beragama Nasrani, Rasulullah shollallahu ’alaih wa sallam menyampaikan seruan sebagai berikut:

فإني أدعوكم إلى عبادة الله من عبادة العباد

“Sesungguhnya aku menyeru kalian kepada penghambaan Allah ta’aala semata dan meninggalkan penghambaan sesama hamba.” (HR Al-Baihaqi 2126)

Demikianlah, Islam datang membawa seruan abadi agar manusia hanya menghambakan diri kepada Allah ta’aala semata. Ajaran Allah ta’aala tidak membenarkan adanya penghambaan antara sesama hamba. Manusia tidak dibenarkan untuk menghamba kepada sesama manusia. Pengertian menghamba kepada sesama hamba bukan hanya dalam bentuk manusia bersujud di hadapan manusia lainnya. Tetapi pengertiannya mencakup ketaatan mutlak kepada sesama manusia.

Fihak yang menerima penghambaan manusia disebut ”Ilah” yang biasa diterjemahkan sebagai ”tuhan” dalam bahasa Indonesia. Sesungguhnya ”Ilah” mengandung setidaknya tiga pengertian, yaitu: ”yang dicintai, yang dipatuhi dan yang ditakuti.”

Apa hubungannya dengan Sistem Demokrasi? Dalam Sistem Demokrasi sekumpulan manusia dipilih untuk kemudian ditempatkan pada posisi yang sedemikian istimewanya sehingga mereka diperlakukan sebagai fihak ”yang dicintai, yang dipatuhi dan yang ditakuti.” Dan semua ciri tersebut telah dibangun semenjak mereka masih berkampanye. Dalam berbagai spanduk kampanye, mereka dengan PD-nya (percaya dirinya) memperkenalkan dirinya sebagai: Jujur, Amanah, Bersih dll.

Ketika mereka telah duduk di kursi parlemen dengan mandat yang diterima dari konstituen yang mereka wakili, maka mereka kemudian memperoleh wewenang yang sedemikian besarnya sehingga mereka berhak menetapkan hukum yang akan diberlakukan di tengah masyarakat. Itulah sebabnya anggota parlemen di Amerika Serikat bahkan diistilahkan sebagai ”lawmaker” artinya pembuat hukum. Hak untuk merumuskan Undang-undang sama layaknya dengan hak menyusun hukum. Padahal di dalam kitab suci Al-Qur’an Al-Karim jelas dinyatakan bahwa hak menentukan hukum hanyalah hak prerogratif milik Allah ta’aala semata.

وَلَا تَدْعُ مَعَ اللَّهِ إِلَهًا آَخَرَ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ كُلُّ شَيْءٍ هَالِكٌ إِلَّا وَجْهَهُ لَهُ الْحُكْمُ وَإِلَيْهِ تُرْجَعُونَ

“Janganlah kamu sembah di samping (menyembah) Allah ta’aala, tuhan apapun yang lain. Tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia. Tiap-tiap sesuatu pasti binasa, kecuali Allah ta’aala. BagiNyalah segala penentuan(hukum), dan hanya kepada-Nyalah kamu dikembalikan.” (QS Al-Qashash ayat 88)

Berdasarkan ayat di ayat jelas bahwa Islam tidak mengakui adanya fihak selain Allah ta’aala yang berhak menetapkan hukum. Penetapan Halal dan haram merupakan wewenang Allah ta’aala semata. Namun dalam sistem demokrasi, manusia (baca: anggota parlemen) berhak menentukan halal dan haram (baca: legal dan ilegal). Itulah sebabnya di Amerika misalnya, hubungan homoseksual dahulu pernah dianggap ilegal. Namun dengan berjalannya waktu ia bisa berubah menjadi legal. Suatu perkara yang mustahil terjadi di dalam sistem Islam. Nabi shollallahu ’alaih wa sallam bersabda:

الْحَلَالُ بَيِّنٌ وَالْحَرَامُ بَيِّنٌ

“Perkara yang halal itu sudah jelas dan perkara yang haram juga sudah jelas.” (HR Bukhary 1910)

Di dalam ajaran Islam urusan halal dan haram tidak boleh berubah mengikuti selera zaman dan manusia. Apalagi menjadikannya sebagai obyek voting. Seolah sesuatu boleh dianggap halal karena banyak pendukungnya, atau sebaliknya dianggap haram bila sedikit pendukungnya. Perkara ini merefleksikan kepatuhan dan loyalitas manusia terhadap ilah yang ia cintai, patuhi dan takuti. Hanya Allah ta’aala yang berhak menetapkan mana perkara yang halal dan mana yang haram. Manusia tinggal mematuhi saja sebagai bukti keimanan kepada Penentu Hukum Tertinggi, yaitu Allah ta’aala. Sekaligus hal ini merupakan manifestasi penghambaan dirinya kepada Penentu Hukum tersebut.

Dalam sistem demokrasi masyarakat kebanyakan menyerahkan ketaatan dan loyalitas kepada para lawmakers, yakni anggota parlemen. Lalu hak untuk menentukan perkara mana yang halal/legal dan mana yang haram/ilegal menunjukkan bahwa para lawmakers dibenarkan berperan sebagai penentu hukum. Jika kemudian produk hukum mereka dipatuhi masyarakat, berarti masyarakat telah menyerahkan loyalitas kepada para lawmakers tersebut. Dengan kata lain terjadilah penghambaan masyarakat luas kepada para lawmakers. Dan para lawmakers telah ”berperan sebagai tuhan” atau ”playing god”. Masyarakat luas menjadi hamba sedangkan kumpulan lawmakers menjadi ilah masyarakat.

Itulah sebabnya di berbagai negara modern yang menerapkan sistem demokrasi dewasa ini terjadilah perlombaan yang begitu semarak untuk menjadi kelompok elit anggota parlemen. Setiap orang yang mengkampanyekan dirinya untuk merebut kursi parlemen rela berkorban untuk mendapatkannya. Berapapun mereka bayar asal dapat kursi empuk tersebut. Hal ini bukan hanya terjadi di negara yang dianggap masih baru berdemokrasi. Bahkan di Amerika sekalipun hal seperti ini berlangsung dengan transparan.

Senator Ted Stevens dari partai Republican mewakili negara bagian Alaska baru-baru ini terbukti lewat pengadilan telah melakukan tujuh pelanggaran korupsi. Secara teori ia bisa diancam total tigapuluh lima tahun masa penjara. Namun para ahli mengatakan bahwa kemungkinan besar masa tahanannya tidak akan selama itu, bahkan mungkin tidak akan ditahan samasekali..!

Senator Stevens yang berusia 84 tahun telah menjadi lawmaker semenjak tahun 1968. Ia terbukti telah menyembunyikan fakta bahwa dirinya menerima total uang sebesar $250.000 sejak 1999 hingga 2006 untuk sejumlah hadiah dan biaya renovasi rumahnya di Alaska. Namun jika ia akhirnya harus diberhentikan dari posnya sebagai anggota parlemen, Senator Stevens tetap berhak menerima uang pensiun sebesar $122.000 per tahun, sebab ketujuh pelanggaran yang telah dilakukannya tidak mencakup pelanggaran yang bisa membatalkan haknya menerima pensiun ...!!!

Demikianlah, sistem demokrasi menjamin dan melindungi para ”tuhan” mereka di tengah masyarakat yang setia menjadi hamba-hambanya.

Ya Allah, tunjukkanlah kepada kami bahwa yang benar itu benar dan berilah kami kekuatan untuk selalu berfihak kepadanya. Dan tunjukkanlah kepada kami bahwa yang batil itu batil dan berilah kami kekuatan untuk menolaknya. Amin.

Rabu, 15 April 2009

Pilih “Tokek” di Pemilu 2009


Pemilu 2009 ini memang banyak berbeda dibandingkan Pemilu sebelumnya. Lebih banyak partai, lebih banyak caleg, lebih banyak masalah, lebih banyak janji yang diumbar, lebih banyak iklan, lebih banyak anggaran yang dikeluarkan "sia-sia", dan banyak lainnya.

Kebingungan konstituen bertambah karena para caleg itu tidak ada yang dikenal dengan baik kualitasnya. Boro-boro kualitas, visi misi saja tidak jelas, bahkan nama pun tidak kenal. Orang Jakarta jadi caleg daerah pilihan (dapil) Solo, orang Sumatera jeblus, muncul di Jawa. Orang Jawa mewakili masyarakat Papua.

Simpang siur tidak jelas. Sama tidak jelasnya dengan latar belakang pendidikan dan profesi mereka sebenarnya, yang menurut rahasia umum banyak berijasah palsu, bergelar palsu, dan kurang lebih 70% dari mereka pengangguran tidak jelas profesi sebenarnya.

Konstituen makin tidak semangat --setelah bingung-- karena pengalaman selama ini membuktikan, para wakil mereka di parlemen tidak lebih dari orang-orang yang tukang mangkir dari tugas, suka titip absen, suka korupsi, dugem, penenggak miras dan narkoba, main perempuan, tukang rekreasi, dan bahkan tukang tidur. Ketika mereka ditanya tentang masalah terkait tugas dan tanggung jawabnya, banyak yang hanya bisa bicara, “aaa... mmm... eee... bla-bla-bla... Tidak karuan.”

Lebih konyol lagi beberapa waktu lalu, ada caleg ditangkap polisi karena mencuri motor. Sebuah tindakan kriminal rendahan yang pastinya dilakukan orang yang bermoral rendah. Itu baru yang ketahuan, bagaimana yang "beruntung" tidak tertangkap basah melakukan pelanggaran norma dan aturan? Pastinya mereka sekarang sedang nyengir-nyengir kuda sambil mengelus dada dan memanggil-manggil Ki Slamet.

Apakah sebegitu buruknya potret para caleg kita? Apa tidak ada yang baik? Jawabnya pasti ada, selalu ada yang terbaik di antara kumpulan yang buruk-buruk.

Tapi bagaimana memilih yang terbaik di antara yang buruk?

Kampanye terbuka yang dilakukan partai peserta pemilu semuanya sama, merupakan "Panggung Konser Musik" yang secara resmi dibuka oleh para petinggi partai. Apakah kita harus memilih berdasarkan siapa artis yang tampil di atas panggung?

Bisa jadi. Masak saya yang berkerudung memilih partai yang menampilkan goyangan artis si Tukang Gergaji. Masak saya yang berbaju koko dan berkopiah harus memilih partai yang menampilkan orang slengekan jingkrak-jingkrak di atas panggung? Haruskah memilih partai yang hanya menampilkan orang tua-tua di atas panggung? Atau partai yang menampilkan para kyai yang berantem rebutan pengaruh, atau partai yang menghadirkan arwah Bapak Besar-nya ke atas panggung?

Atau kita harus memilih berdasarkan nomor urut? Seperti penggemar togel, nomor atau angka sangat berarti dalam Pemilu.

Sebuah partai mengklaim nomor partainya paling "hoki", karena merupakan rangkaian dua bulatan yang bersambung tidak terputus. Partai ini mengaku memegang asas tauhid. Tapi entah kenapa masih percaya tafsir nomor ala Ki Joko Bodo.

Partai satu ini memang bisa disebut sebagai partai kreatif sekali. Bagaimana tidak? Nomor urut partai yang jelas-jelas hanya kebetulan, dibilang membawa keberuntungan. Pemimpin diktator pelopor budaya nepotisme, korupsi dan kolusi dijadikan panutan, digadang-gadang sebagai bapak bangsa.

Hebatnya, para petinggi partai katanya tidak mengetahui iklan menyangkut bapak bangsa yang dipasang oleh "anak-anak muda" mereka. Bisa dibayangkan, pemimpin tidak tahu kelakuan anak buahnya? Aneh kan?

Mungkin kita perlu memilih berdasarkan orang-orang yang tergabung di dalamnya. Ada partai yang dijuluki partainya para kyai. Namun, sayangnya partai ini bukan dikenal sebagai Partai Kyai Berwibawa, melainkan Partai Kyai Berantem. Kalau sudah menyangkut masalah jumlah suara, para kadernya sibuk cuap-cuap sana sini mencari pendukung. Kehebohannya menyamai gosip artis, banyak disorot media massa cetak maupun elektronik. Sebenarnya ada alternatifnya, Partai Kelompok Ndompleng Ulama. Tapi namanya mendompleng, biasanya tidak jauh beda dari akarnya dulu.

Partai yang yang membanggakan pendirinya mungkin lebih baik, sebab Partai Bapak Bangsa ini dulu jika sejarahnya dirunut ke belakang dimotori oleh cendikiawan Islam. Sayangnya para generasi penerusnya mengubah partai menjadi sekedar Partai Bangga Bapak, yang tidak mewarisi nilai perjuangan sejati para pendirinya. Partai ini sekarang sekedar Partai Biasa-Biasa saja. Saking biasanya, tidak menarik untuk dibahas.

Untuk yang fanatik warna hijau, ada Partai Pemecah Persatuan. Partainya dulu satu memakai warna hijau. Seiring kerakusan duniawi, akhirnya bercerai-berai menjadi seperti cendol, tetap hijau tapi bercerai berai menjadi potongan-potongan kecil, yang disusupi orang-orang berpaham sekularisme, liberalisme, komunisme, pluralisme. Kadernya pun banyak tersangkut kasus korupsi dan suka dugem.

Ada Partai Menguntit Bapak. Entah karena kurang percaya diri atau apa, logo partainya pun mirip dengan partai induknya dulu yang memakai gambar matahari bersinar. Perbedaannya hanya pada warna.Bapaknya pakai warna biru, sedangkan anaknya coklat kemerahan. Tak jelas visi dan misinya. Juru bicara yang ditunjuk debat antar-partai Sabtu malam di RRI (4/4) saja hanya mampu berbicara terbata-bata, tanpa fokus yang jelas.

Ada yang menyarankan memilih caleg partai Islam yang dikenal. Masalahnya caleg yang ada di sekitar saat ini profilnya sebagai berikut:

1. Seorang bapak yang suka tertidur jika mendengarkan ceramah, padahal ia juga dikenal sebagi seorang dosen dan dai.

2. Seorang bapak yang punya usaha, jatuh bangun, dan setelah menjadi anggota legislatif hutang pun lupa tidak dibayar.

3. Saya tidak tega menampilkan profilnya.

Bingung menentukan pilihan? Jangan bertanya pada rumput, karena ia hanya akan bergoyang, seakan berkata "tidak tahu". Tanyakan saja pada Bang Tokek. Pilih siapa Pemilu 2009 ini? Pasti jawabnya: "Contreng! Tidak! Contreng! Ti…" Wallahu a’lam

Wassalam,

Partai Allah vs Partai Setan part 2

Partai Allah vs Partai Setan (bag. 2)

Senin, 13/04/2009 10:06 WIB Cetak | Kirim | RSS Di antara jebakan setan yang paling ampuh adalah membangun perasaan dan klaim berada dalam kebenaran yang datang dari Allah dan Rasul-Nya, namun tidak didukung oleh dalil-dalil yang benar-benar dari Allah dan Rasul-Nya dan atau tidak pula bisa dibuktikan dalam amal perbuatan.

Dalam tulisan lalu kita sudah membahas berbagai masalah terkait partai dalam Al-Qur’an. Di antaranya, kriteria Partai Allah dan Partai Setan. Pembahasan-pembahasan berikutnya adalah topik-topik yang terkait langsung dengan Partai Allah VS Partai Setan agar gambarannya menjadi utuh dan jelas.

Di antara topik tersebut ialah, Kemenangan Versi Partai Allah dan Partai Setan, Orientasi Partai Allah dan Partai Setan, Strategi Partai Allah dan Partai Setan, Aktivitas Partai Allah dan Partai Setan, Langkah-Langkah Partai Allah dan Partai Setan, Hakikat Konflik Antara Partai Allah VS Partai Setan dan banyak lagi topik lain yang relevan.

Sebelum membahas topik-topik di atas dan agar memudahkan kita mencerna tema tulisan ini dengan baik, kita perlu membangun landasan berfikir dengan bangunan yang kokoh dan kuat, agar paradigma dan filosofi berpikir kita menjadi lurus dan sesuai dengan fitrah manusia yang telah Allah ciptakan. Kemudian, tujuannya juga harus jelas, agar kita terhindar dari ketersesatan berfikir dan bertingkah laku di tengah jalan.

Adapun landasan berfikirnya ialah firman Allah surat Al-Baqarah ayat 208 dan 209. Sedangkan tujuan kita membahas Partai Allah vs Partai Setan dengan segala permasalahannya tidak lain adalah mencari kebenaran agar kita dapat selalu berada dalam shaf Partai Allah dan terhindar dari bergabung dengan Partai Setan. Pemahaman tersebut haruslah didasari ilmu yang benar, bukan hanya sekedar klaim atau akuan belaka (amaniy). Dengan demikian Insya Allah kita bisa selamat di dunia dan mencapai kemenangan besar di akhirat, yakni masuk Syurga Allah.

Memahami landasan berfikir dan tujuan pembahasan masalah Partai Allah VS Partai Setan tersebut juga sangat penting agar kita terhindar dari debat kusir yang tidak berguna dan bahkan bisa menyimpangkan kita dari pembahasan yang sebenarnya. Pada akhirnya kita akan sulit keluar dari berbagai jebakan setan yang sesungguhnya, baik dari kalangan jin maupun manusia.

Di antara jebakan setan yang paling ampuh adalah membangun perasaan dan klaim berada dalam kebenaran yang datang dari Allah dan Rasul-Nya, namun tidak didukung oleh dalil-dalil yang benar-benar dari Allah dan Rasul-Nya dan atau tidak pula bisa dibuktikan dalam amal perbuatan. Jadilah kita seperti yang dilukiskan Allah dalam surat Al-Kahfi ayat 103-104 :

قُلْ هَلْ نُنَبِّئُكُمْ بِالْأَخْسَرِينَ أَعْمَالًا ﴿١٠٣﴾ الَّذِينَ ضَلَّ سَعْيُهُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَهُمْ يَحْسَبُونَ أَنَّهُمْ يُحْسِنُونَ صُنْعًا ﴿١٠٤﴾

“Katakan (wahai Muhammad), maukah kamu sekalian Kami beritakan akan orang-orang yang paling merugi amal perbuatan (mereka)? Mereka adalah orang-orang yang tersesat usaha (amal perbuatan) nya semasa hidup di dunia sedangkan mereka mengira bahwa mereka berbuat baik”. (Q.S. Al-Kahfi : 103 – 104)

Landasan Berfikir.

Seperti yang disinggung di atas, bahwa landasan berfikir dalam membahas Partai Allah VS Partai Setan adalah firman Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 208 dan 209 berikut:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا ادْخُلُوا فِي السِّلْمِ كَافَّةً وَلا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ (208) فَإِنْ زَلَلْتُمْ مِنْ بَعْدِ مَا جَاءَتْكُمُ الْبَيِّنَاتُ فَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ حَكِيمٌ (209)

“Wahai orang-orang beriman! Masuklah kamu sekalian ke dalam Islam secara keseluruhan dan sekali-kali jangan kalian mengikuti langkah-langkah setan. Sesungguhnya ia (setan itu) bagi kamu adalah musuh yang nyata. Jika kamu tergelincir (dari jalan Islam dan pasti meniti jalan setan) setelah datang kepadamu penjelasan-penjelesan (Al-Qur’an) maka ketahuilah bahwa sesungguhnhya Allah itu Maha Perkasa dan Maha Bijaksana” (Q.S. Al-Baqarah : 208 - 209)

Dari dua ayat tersebut di atas dapat kita petik sepuluh hal penting berikut :

  1. Yang memanggil atau menyeru ialah Allah, Tuhan Pencipta manusia dan alam semesta yang telah menurunkan wahyu Al-Qur’an sebagai petunjuk hidup dan mengutus Muhammad Saw sebagai Rasul yang harus ditaati dan diteladani dalam memanage (mengelola) semua sapek kehidupan. Sedangkan yang diseru atau dipanggil adalah orang-orang beriman yang telah mengakui Allah sebagai Tuhan mereka dan Muhammad Saw. sebagai Nabi dan Rasul Allah terakhir.
  2. Inti seruan Allah adalah sebuah perintah agar orang-orang beriman masuk ke dalam Islam atau menerima ajaran Islam secara utuh atau secara keseluruhan.
  3. Sebaliknya, pada waktu yang sama Allah melarang orang-orang beriman agar tidak mengikuti langkah-langkah setan.
  4. Dalam larangan tersebut juga dapat dipahami agar orang-orang beriman waspada dan setiap saat menyadari bahwa setan itu adalah musuh mereka yang nyata.
  5. Jalan hidup itu hanya dua; jalan Islam (Allah) atau jalan setan.
  6. Ayat tersebut juga mengisyaratkan, seorang Muslim, jamaah Islam atau negara Islam sangat mungkin – inilah fakta sepanjang sejarah setelah masa Khulafaurrasyidin berakhir sampai hari ini - meniti sebagian jalan Islam dan sebagian lain adalah jalan setan sebagai akibat dari kebodohan, lupa (tidak sadar) atau disebabkan godaan setan yang amat menggiurkan terhadap mereka.
  7. Allah tidak mengharapkan sama sekali orang-orang beriman tergelincir dari jalan Islam sehingga meniti jalan setan, kendati hanya sebagian.
  8. Jika kasus tersebut terjadi, Allah akan melihat kasus tersebut sebagai murni karena kelemahan manusia atau karena sengaja dan tergoda oleh setan dan kemudian tidak mau kembali kepada jalan Islam dan bahkan dengan mencari-cari legalitasnya dari Islam. Jika murni karena kelemahan / kebodohan atau tergelincir karena godaan setan namun mau kembali ke jalan Islam dengan bertaubat, maka Allah Maha Bijaksana dan akan mengampuninya dan menunjukinya selalu di jalan yang lurus, seperti yang terjadi pada manusia pertama, bapak semua manusia, yakni Adam alaihissalam. Namun jika tergelincir karena menikmati penyimpangan atau maksiat seperti berbagai prilaku Bani Israel atau karena kesombongan dan gengsi seperti yang terjadi pada Iblis, maka Allah akan memperlihatkan Kemahaperkasaan-Nya dengan membiarkan mereka yang tergelincir tersebut tetap berada dalam ketergelincirannya dan tidak akan memberi mereka petunjuk ke jalan Islam yang lurus.
  9. Sebab itu, Allah menyeru orang-orang beriman dengan seruan penuh kasih sayang, namun tegas dan keras, agar selalu berada pada jalan Islam secara total dan menghindari jalan setan secara total pula, baik sebagai individu, jamaah, partai ataupun negara.
  10. Seruan masuk kepada Islam secara total dan meninggalkan semua langkah setan mengisyaratkan sebuah tema yang amat besar, yakni percaturan antara Islam dengan jahiliyah dengan segala warna warninya. Sebab itu, tema tersebut mencakup semua umat manusia yang hidup sejak risalah Nabi Muhammad Saw diturunkan, atau persisnya sejak kedua ayat tersebut diturunkan sampai hari kiamat nanti. Sebab itu, tema tersebut bukan hanya menyangkut kelompok, jamaah atau partai-partai yang ada, melainkan untuk seluruh manusia di atas bumi ini.

Untuk mendapatkan gambaran lengkap tentang landasan berfikir yang harus kita bangun, alangkah baiknya kita meyimak uraian Sayyid Qutb dalam Fi Zhilalil Qur’an tentang ayat 208 dan 209 surat Al-Baqarah di atas sebagai berikut :

“Sesungguhnya itu adalah seruan untuk oarng-orang Mukmin dengan dasar keimanan. Mereka diseru dengan sifat/karakter yang amat mereka cintai dan sifat itu yang membuat mereka istimewa serta menyebabkan mereka tersambung dengan Allah, Dzat yang menyeru mereka. Sebuah seruan untuk orang-orang beriman agar mereka masuk Islam secara total”.

Pemahaman dasar Dakwah (Islam) ini ialah bahwa kaum Mukmin itu harus mampu menyerahkan diri kepada Allah dengan segala yang mereka miliki; diri mereka; dalam urusan kecil maupun besar. Mereka harus menyerahkannya dengan bulat sehingga tidak ada lagi, setelah penyerahan itu, sisa-sisa konsepsi atau perasaan, niat atau perbuatan, keinginan atau kebencian yang tidak tunduk kepada Allah dan tidak ridha (puas) terhadap hukum dan keputusan-Nya.

Penyerahan ketaatan yang penuh tsiqah (percaya), yang tenang dan ridha. Penyerahan itu kepada Tangan yang menggiring langkah mereka sedangkan mereka sangat percaya bahwa Tangan tersebut menginginkan kebaikan, nasehat dan jalan lurus bagi mereka. Mereka merasakan ketenangan dalam perjalanan di dunia ini yang sedang menuju tempat kembali di akhirat kelak.

Diarahkannya seruan tersebut kepada orang-orang beriman saat itu, menunjukkan bahwa saat itu masih ada jiwa-jiwa yang dihinggapi keragu-raguan dalam ketaatan mutlak dalam kondisi sembunyi-sembunyi atau terang-terangan. Merupakan suatu fenomena umum atau alami bahwa terdapat dalam Jama’ah Rasullah (jiwa-jiwa yang belum bisa taat mutlak) di samping jiwa-jiwa yang sudah tenang, percaya dan ridha. Karena ia adalah seruan yang diarahkan setiap saat kepada orang-orang beriman agar mereka ikhlas dan totalitas. Langkah-langkah dan orientasi mereka selaras dengan apa yang dimaui Allah bagi mereka serta sejalan pula dengan arah yang dibimbing oleh nabi dan agama mereka, tanpa mencla-mencle, ragu-ragu dan lirik sana-lirik sini.

Saat seorang Muslim menerima seruan itu dengan sepenuh hati, maka ia akan masuk ke dalam dunia ini semuanya ketentraman dan semuanya keselamatan. Sebuah dunia yang semuanya tsiqah (trust) dan ketenangan. Semuanya ridha dan ketenangan di mana tidak ada lagi kebingungan dan kegelisahan… Tidak ada lagi keterusiran/marginal dan ketersesatan… Kedamaian bersama diri dan hati….Kedamaian bersama akal dan logika… Kedamaian bersama manusia dan semua mahkluk hidup… Kedamaian bersama alam semesta dan semua yang ada di dalamnya…. Kedamaian yang berkibar di lubuk hati yang dalam… Kedamaian yang menaungi kehidupan dan masyarakat dan kedamaian di bumi dan di langit.

Pertama kali yang dilimpahkan oleh kedamaian itu ke dalam hati ialah limpahan kebenaran konsepsi/gambaran terhadap Allah, Tuhan Penciptanya. Sebuah konsepsi yang cemerlang dan sederhana. Sesungguhnya Ia adalah Tuhan yang Esa di mana seorang Muslim berorientasi hanya kepada-Nya saja, yang akan membuat hatinya tenang. Sebab itu, ia tidak akan menempuh lagi jalan-jalan lain selain jalan-Nya. Tidak pula memiliki kiblat (direction) yang beragam. Tidak juga terlempar dari satu tuhan kepada tuhan-tuhan lain yang datang dari sana atau sini – sebagaimana halnya kehidupan manusia di zaman jahiliyah -. Sesungguhnya hanya Tuhan yang Esa yang menjadi tujuannya dengan penuh kepercayaan, ketenangan, kecemerlangan dan penuh kejelasan.

Ialah Tuhan yang Maha Adil dan Bijaksana. Kekuatan dan Kehendak-Nya cukup sebagai garansi dari menghadapi kezaliman, jebakan hawa nafsu dan kerugian. Bukah seperti tuhan-tuhan berhala jahiliyah yang memiliki dorongan ego dan syahwat. Sebab itu, seorang Muslim berlindung kepada Tuhan-nya dengan sandaran yanag amat kuat dimana ia mendapat keadilan, perawatan dan keamanan. Ialah Tuhan yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang, Pemberi nikmat, Pengampun dosa dan Penerima taubat. Setiap saat memperkenankan permintaan (doa) orang-orang yang tertindas dan melepaskan mereka dari keburukan. Seorang Muslim harus dapat merasakan rasa aman yang ramah dalam pangkuan-Nya. Merasa selamat, beruntung dan dikasihi bila ia lemah dan diampuni saat ia bertaubat.

Demikianlah seorang Muslim berjalan bersama sifat-sifat Tuhannya yang diperkenalkan Islam kepadanya. Sebab itu, ia menemukan pada semua sifat Allah tersebut apa yang membuat hatinya dan jiwanya tenang serta jaminan meraih pemeliharaan, penjagaan, kasih sayang, kemuliaan, imunitas, ketenangan dan ketentraman. Demikianlah hati seorang Muslim mendapatkan limpahan ketentraman dari kebenaran konsepsi hubungan antara hamba dengan Tuhan Penciptanya.”

Kemudian Sayyid Qutub menjelaskan : “ Keyakinan/ Iman pada akhirat memiliki peranan utama dalam melimpahkan ketentraman pada jiwa seorang Mukmin dan dunianya. Ia juga mampu mengusir kegelisahan, kemurkaan dan putus asa.

Sesungguhnya perhitungan akhir bukanlah di atas bumi (dunia) ini dan balasan yang sempurna bukan pula dalam kehidupan yang fana ini. Sesungguhnya perhitungan akhir adalah di sana (akhirat). Keadilan mutlak akan terjamin dalam perhitungan akhir itu. Sebab itu, tidak ada tempat menyesali kebaikan (dakwah) dan jihad di jalan-Nya jika tidak terealisasi dan tidak memperoleh imbalannya di atas bumi ini. Tidak perlu gelisah terhadap imbalan yang berdasarkan standar manusia jika tidak terpenuhi dalam kehidupan dunia fana ini. Sebab nanti akan disempurnakan dalam timbangan Allah. Tidak ada tempat putus asa terhadap keadilan bila keadilan itu telah dibagi-bagi ke dalam berbagai kepentingan dalam kehidupan yang fana ini. Keadilan itu pasti terlaksana dan Allah sama sekali tidak menghendaki keazaliman bagi hamba-Nya.

Keyakinan pada akhirat juga akan menjadi benteng penghalang bagi terjadinya percaturan/persaingan gila jahiliyah yang menginjak-injak nilai dan kehormatan, tanpa sedikitpun rasa malu. Di sana ada akhirat yang penuh pemberian dan kecukupan. Di sana ada ganti bagi apa yang luput semasa di dunia. Konsepsi ini dengan sendirinya melimpahkan rasa ketentraman dan keselamatan dalam perlombaan dan berkompetisi dan akan mencabut basa basi / performance / jaim terhadap gerakan para competitors serta akan meringankan beban biaya yang muncul dari perasaan yang mengira bahwa satru-satunya kesempatan yang ada hanyalah saat menjalani hidup yang pendek ini.

Pengetahuan seorang Mukmin akan tujuan keberadaan manusia ini adalah ibadah dan ia diciptakan agar mengabdi hanya kepada Allah, maka tidak diragukan dengan sendirinya akan mengangkatnya ke ufuk yang penuh cahaya. Mengangkat perasaan dan hatinya. Mengangkat semua aktivitas dan amalnya dan membersihkan sarana dan prasarananya. Karena ia menginginkan ibadah dengan aktivitas, amal, kerja dan infaknya serta menginginkan ibadah dengan khilafahnya di muka bumi untuk merealisasikan manhaj Allah di atasnya, maka ia akan mengutamakan untuk tidak berkhianat, tidak berbuat maksiat, tidak menipu, memanipulasi, tidak melampaui batas, tidak berlaku sombong dan tidak menggunakan sarana dan prasarana yang kotor dan rendahan.

Demikian juga ia akan mengutamakan untuk tidak isti’jal (tergesa-gesa) dalam setiap marhalah (dakwah), tidak akan membuat jalan pintas, tidak akan melewati masalah sulit yang diciptakan sendiri. Ia akan mencapai tujuan ibadahnya dengan niat yang ikhlas dan ativitas yang serius dan kontinyu dalam batas-batas kemampuan. Kondisi sepeti ini mengharuskan jiwanya tidak ditimpa gejolak ketakutan yang berlebihan (paranoid) dan kerakusan (pada dunia) serta tidak dikuasai oleh kegelisahan dalam setiap marhalah (periode) perjalanannya. Yang demikian itu karena ia mengabdi pada Allah dalam setiap langkah. Ia merealisasikan tujuan keberadaannya dalam setiap lintasan pikiran dan hatinya dan ia menanjak ke arah yang tinggi menuju Allah dalam setiap aktivitas dan lapangan.

Perasaan seorang Mukmin bawa ia sedang berjalan bersama kekuasaan Allah dalam mentaati Allah untuk merealisasikan kehendak Allah… Yang ia peroleh dari perasaan tersebut dalam jiwanya ialah ketenangan dan ketentraman dalam meniti jalan (dakwah), tanpa ada kebingungan, kegelisahan dan sumpah serapah dalam menghadapi berbagai rintangan dan kesulitan, tanpa putus asa dari pertolongan Alah dan bantuan-Nya dan tanpa takut terhadap melencengnya tujuan atau hilangnya balasan. Karena itu, ia merasakan ketentraman dalam jiwanya, bahkan dalam memerangi musuh-musuh Allah dan musuh-musuhnya, karena ia tidak memerangi mereka melainkan karena Allah, di jalan Allah, untuk meninggikan kalimat Allah dan bukan berperang karena kedudukan/pangkat, harta, nasionalisme, atau tujuan apa saja dalam bentuk tujuan duniawi lainnya.

Demikian pula ia merasakan bahwa ia berjalan berdasarkan sunnah (sistem) Allah bersama alam semesta. Kanun (aturan main) alam semesta juga kanunnya dan orientasi alam semesta juga orientasinya. Sebab itu dalam perjalanannya tidak berbenturan dan tidak pula bermusuhan dengan alam semesta. Tidak pula terjadi penghamburan dan pemborosan tenaga. Kekuatan alam semesta berhimpun dengan kekuatannya dan menggiringnya kepada cahaya yang dijadikannya pelita kehidupan. Orientasinya hanya kepada Allah bersama orientasi alam semesta menuju Allah.

Adapun biaya dan beban yang diwajibkan Islam terhadap seorang Muslim semuanya sesuai fitrah dan untuk membenahi fitrah (yang menyimpang). Biaya dan beban tersebut tidak akan pernah melebihi kekuatan dan potensi manusia dan tidak pula melupakan karakter manusia dan konstruksi tubuhnya. Tidak satupun kekuatan dari kekuatan manusia yang diabaikan yang tidak digunakan untuk bekerja, membangun dan meciptakan pertumbuhan. Tidak ada pula satupun kebutuhan manusia yang dilupakan baik kebutuhan jasmani maupun kebutuha ruhani. Tidak ada pula yang tidak dapat dipenuhi dalam kemudahan, tolerasni dan kemakmuran. Karena itu, ia tidak akan pernah bingung dan tidak pula gelisah dalam mengemban beban dan biaya itu. Ia akan memikul apa yang dipikulkan kepadanya dan meniti jalan menuju Allah dalam keadaan tenang, penuh spirit dan ketentraman.

Kemudian Sayyid Qutub melanjutkan : “ Inilah sebagian dari makna-makna “as-silm” (ketenangan dan keselamatan Islam) yang diisyaratkan ayat yang menyeru orang-orang beriman untuk masuk ke dalamnya secara total, agar mereka menyerahkan diri mereka secara total pula kepada Allah. Oleh sebab itu, tidak ada yang harus diharapkan kembali (imbalan) kepada diri mereka sedikitpun. Tidak ada jatah atau imbalan yang perlu kembali untuk kepentingan diri mereka. Semua dikembalikan kepada Allah dalam keadaan suka, tunduk dan penuh kepasrahan.

Makna “as-silm” seperti ini tidak akan dipahami dengan benar-benar paham oleh orang yang tidak mengerti bagaimana ia membuang kebingungan dan menghapus kegelisahan dalam diri yang tidak merasa tenang dengan iman (kepada Allah) dalam masyarakat yang tidak mengenal Islam, atau boleh jadi mereka mengenalnya akan tetapi kemudian mereka mengingkarinya dan kembali (murtad) kepada jahiliyah di bawah berbagai tema/simbol sepanjang masa. Masyarakat seperti ini adalah masyarakat yang sengsara dan bingung, kendati di tengah kebutuhan materi yang melimpah dan kemajuan peradaban materialismenya, serta memiliki semua faktor-faktor kemajuan dalam standar jahiliyah yang memiliki konsepsi yang sesat dan beragam.

Cukup bagi kita Swedia satu contoh dari apa yang terjadi di negara-negra Eropa sebagai negara yang diklaim sebagai negara maju di mana setiap individu mendapatkan sekitan 500 pound setiap tahun yang dianggarkan dari APBN. Setiap individu memperoleh jatah asuransi kesehatan yang dibayarkan dengan tunai dan pengobatan gratis yang diperoileh dari rumah sakit-rumah sakit pemerintah. Demikian pula dengan pendidikan yang gratis dalam semua tingkatannya bersama bantuan pakaian dan pinjaman bagi pelajar dan mahasiswa berprestasi. Ada lagi bantuan negara sekitar 300 pound sebagai bantuan pernikahan dalam rangka menjaga kelestarian berumah tangga. Dan banyak lagi yang lain berupa bukti kemakmuran ekonomi atau materi dan peradaban yang luar biasa…. Akan tetapi, apa yang terjadi di balik kemakmuran materi dan peradaban yang hatinya tercerabut dari iman kepada Allah?

Sesungguhnya masyarakat Swedia dan juga negeri Eropa lainnya adalah masyarakat yang terancam kepunahan. Keturunan semakin hari semakin berkurang disebabkan kekacauaan pergaulan antar jenis. Perceraian tercatat satu dari enam pernikahan disebabkan bebasnya berhubungan seks tanpa nikah, penampilan wanita yang seronok dan kebebasan pergaulan pria wanita. Generasi muda menyimpang karena mereka pencandu alkohol dan narkoba sebagai ganti dari spiritualitas, iman, ketenangan hati dengan akidah. Berbagai penyakit jiwa, saraf dan penyakit aneh lainnya sedang menerkam puluhan ribu jiwa manusia… Kemudian bunuh diri (tidak terhitung jumlahnya). Kondisi seperti ini juga sedang menimpa Amerika. Bahkan Rusia jauh lebih mengerikan.

Sesungguhnya itu adalah bentuk kesengsaraan yang ditetapkan (Allah) terhadap setiap hati yang terlepas kemanisan iman dan ketenangan akidah. Sebab itu, hati tersebut tidak merasakan rasa ketenangan Islam yang mana kaum Mukmin dipanggil untuk memasukinya secara total dan utuh agar mereka di dalamnya menikmati keamanan, naungan dan ketenangan. “Wahai orang-orang beriman! Masuklah kamu ke dalam ketenangan Islam secara total dan jangan sekali-kali kamu mengikuti langkah-langkah setan. Sesungguhnya setan itu bagi kamu adalh musuh yang nyata”.

Mengapa Allah menyeru kaum Mukmin agar mereka memasuki Islam denga total? Pada waktu yang sama mengingatkan mereka agar tidak mengikuti langkah-langkah setan. Karena sesungguhnya tidak ada (dalam kehidupan ini) kecuali hanya dua orientasi; Masuk ke dalam Islam secara total, atau mengikuti langkah-langkah setan. Petunjuk atau kesesatan. Islam atau jahiliyah. Jalan Allah atau jalan setan. Petunjuk Allah atau tipudaya setan.

Dengan penjelasan yang tegas ini, seorang Muslim hendaklah menyadari sikap yang ia bangun. Oleh sebab itu jangalah mencla mencle dan jangan pula ragu serta kebingungan di antara jalan-jalan dan berbagai orientasi yang ada.

Sesungguhnya di sana tidak ada beberapa manhaj (the ways of life) bagi seorang Mukmin yang ia dapat memilih salah satu darinya, atau ia campur adukkan salah satunya dengan yang lain. Sungguh tidak…. Sesugguhnya orang yang tidak masuk ke dalam Islam dengan segala ajarannya, tidak bisa menyerahkan dirinya secara ikhlas kepada Allah dan syari’at-Nya, maka ia tidak akan bisa terlepas dari konsepsi lain atau manhaj lain atau sitem lain (selain konsepsi, manhaj dan sistem Allah). Ingatlah ia sedang meniti jalan setan dan bahkan bisa semua langkah setan.

Di sana tidak ada solusi (jalan) tengah. Tidak ada pula manhaj baina-baina (manhaj setengah hati/kemunafikan). Tidak pula strategi yang diambil setengah dari sini dan setengahnya dari sana. Sesungguhnya di sana hanya ada Hak atau Bathil, petunjuk atau kesesatan, Islam atau jahiliyah dan manhaj Allah atau tipudaya setan.

Allah menyeru kaum Mukmin sejak pertama kali agar masuk ke dalam Islam secara total dan mengingatkan mereka untuk kali berikutnya agar tidak mengikuti langkah-langkah setan. Seruan tersebut menggerakkan hati dan perasaan mereka dan melahirkan kewaspadaan - melalui peringatan Allah kepada mereka - terhadap permusuhan setan kepada mereka. Itulah permusuhan yang jelas dan nyata yang tidak mungkin dilupakan kecuali oleh orang yang lalai. Sedangkan kelalaian itu tidak mungkin ada bersama iman.”

Pembaca yang dirahmati Allah. Melalui uraian Sayyid Qutub di atas jelaslah bagi kita bahwa dalam kehidupan ini, khususnya kehidupan dakwah dan jihad dalam menuju Allah hanya ada dua manhaj dan jalan; manhaj dan jalan Allah atau manhaj dan jalan setan. Hanya ada dua cara dan strategi; cara dan strategi Allah atau cara dan strategi setan. Inilah landasan membangun pemikiran dalam tataran konsepsi, agar paradigma dan filosofi berfikir kita selalu berada dalam hidayah Allah yang lurus yang akan terefleksi selalu dalam sikap dan tingkah laku. Pada waktu yang sama kita terhindar dari tipu daya setan yang menyengsarakan dan mencelakakan kita di dunia dan di akhirat kelak. Wallahu A’lamu bish-shawab

Sabtu, 11 April 2009

Partai Alloh VS Partai Syetan dalam Al-Qur'an

Fathuddin Jafar, MA

Hiruk pikuk kampanye puluhan partai peserta Pemilu legislatif 2009 sudah berakhir. Tak kurang dari 200 trilyun rupiah sudah dihamburkan. Berbagai acara untuk menarik dan merayu para calon pemilih sudah pula dilakukan.

Hiruk pikuk kampanye puluhan partai peserta Pemilu legislatif 2009 sudah berakhir. Tak kurang dari 200 trilityun rupiah sudah dihamburkan. Berbagai acara untuk menarik dan merayu para calon pemilih sudah pula di lakukan.

Sejak dari pemasangan jutaan spanduk, kaos, brosur, baliho, iklan media cetak dan elektronik dan bahkan menampilkan penyanyi-penyanyi wanita erotis setengah telanjang di hadapan ribuan simpatisan. Seakan semua cara sudah dihalalkan.

Yang lebih ironis lagi, partai-partai yang berbau Islampun tak terlepas dari acara hura-hura dan maksiat itu. Hampir tidak ada partai yang tidak menampilkan musik dangdut atau grup band dalam acara kampanye, khususnya kampanye terbuka, termasuk partai yang menamakan dirinya partai dakwah sekalipun.

Dalam peristiwa Pemilu 2009 kali ini yang mereka namakan dengan Pesta Demokrasi, sebanyak 1.624.324 caleg untuk DPR, DPD, Provinsi dan Kabupaten/Kota bersaing merebutkan 18.480 kursi yang tersedia. Artinya, hanya 1.13 % dari mereka yang akan menjadi anggota legislatif periode 2009 – 2014. Sisanya, 98,87 % atau sekitar 1.605.844 orang dipastikan gagal menduduki kursi-kursi empuk tersebut.

Melihat dahsyatnya persaingan di antara mereka dan besarnya jumlah dana yang telah mereka habiskan dan bahkan ada yang menjual rumah dan sebagainya, ditambah lagi dengan besarnya gejolak syahwat kekuasaan yang mendorong sebagaian besar mereka untuk menduduki kursi Dewan, maka berdasarkan nasehat para ahli jiwa, berbagai RS Jiwa telah menyiapkan diri untuk menerima limpahan pasien pasca Pemilu 2009 pada 9 April yang akan datang. Jika prediksi para ahli jiwa tersebut benar-benar terjadi, barangkali ini adalah peristiwa korban demokrasi pertama di dunia yang paling besar.

Sebelum acara pesta demokrasi (maksiat) tersebut dimulai, umat Islam Indonesia dihebohkan pula oleh fatwa Majlis Ulama Indonesia (MUI) terkait haramnya golput (golongan putih alias tidak ikut pemilu). Fatwa tersebut juga telah menimbulkan prokontra di kalangan umat Islam Indonesia. Semoga prokontra tersebut tidak menambah perpecahan dalam tubuh umat Islam yang sudah terpecah belah menjadi berbagai kelompok (jamaah), aliran dan partai sejak lebih dari 50 tahun lalu.

Tulisan ini tidak fokus mengomentari Pemilu dan fatwa MUI tersebut. Namun akan membahas sebuah tema yang lebih besar dan lebih fundamental dari masalah Pemilu dan fatwa MUI itu, yakni masalah Partai dan hal-hal yang terkait dengannya. Pemilu hanya salah satu aktivitas utama sebuah partai. Tanpa partai-partai Pemilu dalam pengertian di atas tidak akan ada. Pemilu itu hanya sebuah aksi atau aktivitas yang dilakukan oleh partai-partai. Sama halnya dengan shalat jamaah, kalau bisa dimisalkan. Shalat jamaah adalah sebuah aktivitas yang dilakukan oleh para pelakunya di sebuah tempat bernama masjid, mushalla, atau tempat lainnya.

Membahas masalah shalat berjamaah tidak banyak manfaatnya jika sebelumnya tidak membahas masalah tempat shalatnya dan para jamaah yang melaksanakannya. Sebab, bagaimanapun ramai dan khusyuknya shalat jamaah jika tempat shalatnya tidak suci dari najis dan para jamaah yang shalat tidak suci dari hadats dan najis serta tidak menghadap kiblat, tidak menutup aurat dan sebagainya maka shalat jamaah tersebut tidak akan bernilai di mata Allah. Sebab itu, mendiskusikan masalah partai jauh lebih penting dan lebih utama sebelum membahas masalah Pemilu itu sendiri.

Manhaj Tafkir Islami

Dalam Manhaj Tafkir Islami (Metodologi Berfikir Islam), bahwa setiap amal perbuatan yang baik, betapapun besar nilainya, seperti rukun Islam yang lima dan Jihad fi sabilillah dan betapapun besar peranannya dalam kehidupan, seperti pemerintahan dan kepemimpinan, ia harus memenuhi syarat dan rukunnya. Para ulama Fiqih (Hukum Islam) mendefinisikan syarat ialah sesuatu yang menjadikan suatu perbuatan/amal itu sah, tapi ia (sayarat) itu bukan bagian dari perbuatan tersebut. Wudhuk misalnya, ia bukan bagian dari shalat, akan tetapi tanpa wudhuk, shalat tidak akan sah. Adapun rukun ialah, tanpa ia suatu perbuatan itu tidak sah, sedangkan rukun itu bagian dari perbuatan itu sendirinya. Rukuk misalnya, ia adalah rukun shalat dan sekaligus rukuk itu bagian dari shalat itu sendiri. Hal tersebut juga berlaku bagi sebuah aktivitas yang benama Pemilu yang dilaksanakan atau diikuti oleh suatu partai dan para anggotanya.

Bagi seorang Muslim, apapun bentuk aktivitas dan amal perbuatannya harus dilandasi oleh cara pandang Islam atau dengan kata lain, haruslah sesuai dengan konsep Islam. Untuk menilai sesuatu itu sesuai atau tidak dengan konsep Islam, maka metodologi Islam terkait ketentuan syarat dan rukun harus diterapkan. Syarat dan rukun itu harus pula mengacu kepada sumber utama ajaran Islam, yakni Al-Qu’an, dan Sunnah Rasul Saw. Kalau tidak, hanya akan menjadi amal perbuatan yang laghwi (sia-sia), dan bahkan bisa menjadi maksiat (dosa) yang akan menyebabkan pelakunya masuk neraka, jika dia menyandarkan sesuatu amal atau perkatanannya atau pendapatnya kepada Allah dan Rasul-Nya yang tidak pernah dikatakan atau dianjurkan Allah dan Rasul-Nya, seperti yang dijelaskan Nabi Muhmmad saw dalam hadist berikut :

مَنْ عَمِلَ عَمَلا لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ

“Siapa yang melakukan suatu perbuatan yang tidak ada dasarnya dari kami, maka amal tersebut ditolak” (HR. Muslim)

مَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنْ النَّارِ

“Siapa yang mengada-ada terhadap saya dengan sengaja, maka berarti dia dengan sengaja menyiapkan tempat tinggalnya di neraka”. (HR. Muslim)

Hal penting lain yang dapat dipahami dari kedua hadits Rasul Saw di atas, bahwa tidak ada satupun perbuatan, termasuk pendapat dan perkataan seorang Muslim, demikian juga manusia lain, yang terlepas dari pertanggung jawaban akhirat. Oleh sebab itu, mengetahui sah atau tidaknya dan benar atau salahnya suatu perbuatan menurut Allah dan Rasul-Nya merupakan suatu keniscayaan.

Partai dalam Al-Qur’an

Dalam bahasa Arab, partai adalah Hizb (حزب). Dalam Al-Qur’an kata Hizb terdapat tujuh kali dalam bentuk tunggal (حزب), yakni dalam surat Al-Maidah : 56, Al-Mukminun : 53, Ar-Rum : 32 dan Al-Mujadilah : 19 (dua kali) dan 21 (dua kali). Sepuluh kali dalam bentuk jamak; Ahzab (أحزاب), yakni surat Hud : 17, Ar-Ro’du : 36, Mayam : 37, Al-Ahzab : 20 (dua kali) dan 22, Shad : 11 dan 12, Ghafir : 30 dan Az-Zukhruf : 65.

Yang menarik ialah, dari sepuluh kali sebutan kata Ahzab (الأحزاب) / partai-partai semua konotasinya negatif. Dalam surat Hud : 17, kata الأحزاب berarti al-milal (agama-agama/aliran-aliran sesat). Dalam surat Ar-Ro’du : 36 berarti thawa-if (kelompok-kelompok pembangkang). Dalam surat Al-Ahzab : 20 dan 22 berarti pasukan kafir multi nasional yang hendak menyerang Rasulullah dan kaum Muslimin di Madinah. Dalam surat Shad : 11, berarti para pemilik kekuatan, harta dan anak / pengikut yang banyak yang membangkang kepada Allah. Sedangkan dalam surat Az-Zukhruf : 65 الأحزاب berarti kelompok-kelompok sempalan. (Tafsir Ibnu Katsir).

Yang lebih menarik lagi untuk dicermati secara mendalam ialah kata حزب dalam bentuk tunggal dalam Al-Qur’an. Sebagaimana yang dijelaskan terdapat tujuh kali sebutan Hizb / حزب (dalam bentuk tunggal). Dari ketujuh kali sebutan tersebut terdapat dua kali dalam bentuk nakirah (umum/tidak definitif), yakni dalam surat Al-Mukminun : 53 dan Ar-Rum : 32. Keduanya berkonotasi negatif, yakni memecah belah agama menjadi beberapa pecahan seperti beriman sebagain dan kafir pada sebagian lainnya. (Tafsir Ibnu Katsir)

Adapun selain yang disebutkan di atas, terdapat lima kali sebutan حزب (dalam bentuk tunggal) yang diidhofatkan (menjadi kata majemuk). Dua kali diidhofatkan kepada Setan, Hizbusy-Syaithan (حزب الشيطان), yakni dalam surat Al-Mujadilah : 19. Sedangkan tiga sebutan lainnya diidhoftkan dengan kata Allah, yakni Hizbullah (حزب الله) seperti yang terdapat pada surat Al-Maidah : 56 dan surat Al-Mujadilah ayat 22.

Dari uraian dan penelusuran terhadap ayat-ayat yang bebicara terkait kata Hizb / partai, baik dalam bentuk tunggal, jamak, umum (nakirah) maupun yang diidhofatkan sehingga menjadi ma’rifah (defenitif), maka dapat disimpulkan sebagai berikut:

  1. Semu pembicaraan Allah dalam Al-Qur;an yang terkait dengan Hizb dalam bentuk jamak (الأحزاب ) adalah berkonotasi negatif.
  2. Semua ayat yang membahas masalah Hizb dalam bentuk tunggal yang umum dan yang definitive adalah negatif, kecuali yang diidhofatkan kepada Allah (حزب الله) .
  3. Setiap kata Hizb yang diidhofatkan hanya bermakan dua; Hizbullah (حزب الله) atau Hizbusy-syaithan (حزب الشيطان).
  4. Berdasarkan keterangan ayat-ayat yang disebutkan di atas, maka pada hakikatnya partai itu hanya terbagi dua; Partai Allah dan Partai Setan.

Kriteria Partai Allah

Bicara masalah kriteria Partai tidak bisa terlepas dari pembicaraan kriteria para pemimpin, anggota dan aktivis partai itu sendiri yang menjadi aktor di dalamnya. Demikian juga dengan Partai Allah dan Partai Setan harus terkait dengan kriteria para pemimpin dan dan pengikutnya. Kriterianya banyak sekali dan tidak mungkin dibahas dalam tulisan pendek ini. Dalam kesempatan ini, pembahasan kriteria Partai Allah yang mencakup kriteria orang-orang yang terlibat di dalamnya, khususnya para pemimpin dan anggotanya, terfokus kepada ayat-ayat yang terkait langsung dengan kata Hizbullah (حزب الله) dalam Al-Qur’an. Di antaranya dalam urat Al-Maidah ayat 54 – 57 dan surat Al-Mujadilah ayat 22. Di antara kriteria Partai Allah adalah :

  • Mendapat kasih sayang Allah
  • Mencintai Allah
  • Low profile terhadak kaum Mukminin
  • Berani bersikap tegas terhadap orang-orang kafir
  • Berjihad (dengan harta dan jiwa) di jalan Allah
  • Tidak takut celaan orang-orang yang mencela atau berani menyuarakan dan mengatakan al-haq (kebenaran yang datang dari Allah dan Rasul-Nya, apapun resikonya. (Ibnu Katsir) termasuk di hadapan penguasa yang zalim.
  • Memberikan loyalitas penuh hanya kepada Allah, Rasul Muhammad Saw dan kaum Mukminin.
  • Tidak mengangkat pemimpin orang-orang yang memperolok-olokan dan memermainkan agama Allah dari kaum Ahlul Kitab (Yahudi dan Nasrani) dan orang-orang kafir lainnya.
  • Bertaqwa kepada Allah dengan mengerjakan semua perintah-Nya dan meninggalkan semua larangan-Nya.
  • Tidak berkasih sayang apalagi berkolaborasi atau musyarokah dengan orang-orang yang menentang (hukum) Allah dan Rasul-Nya, kendati mereka adalah bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara kandung dan keluarga mereka sendiri.
  • Memfokuskan aktivitas dan kehidupan untuk meraih kemenangan akhirat, yaitu kerdhaan Allah dan masuk syuga Allah.

Yang menarik perhatian kita dari beberapa ayat yang terkait langsung dengan kriteria Partai Allah di atas ialah bahwa Allah terlibat langsung memantapkan keimanan mereka, menolong merkea di dunia lewat para malaikatnya dan memastikan mereka masuk syurga serta meraih keridhaan-Nya. Itulah yang dianggap Allah sebagai kemenangan hakiki.

Kriteria Partai Setan

Kriteria Partai Setan, para pemimpin dan pengikutnya juga cukup banyak. Dalam kesempatan ini, hanya akan diuraikan berdasarkan ayat-ayat yang terkait dengan partai berkonotasi negatif dan setan. Di antaranya seperti yang disebutkan Allah dal surat Al-Mukminun : 53-56, Ar-Rum : 29 - 32 dan Al-Mujadilah : 14 – 20. Di antara krteria Partai Setan itu ialah :

  • Memecah belah agama Alah dengan cara mengimani sebagian dan mengingkari sebagian lain atau memecah belah umat dengan berkelompok-kelompok atau berpartai partai dan setiap kelompk/partai bangga dengan kelompok/partai masing-masing.
  • Tertipu diri dan bangga dengan harta dan anak-anak (pengikut).
  • Mengikuti hawa nafsu sehingga hawa nafsu yang dijadikan petunjuk hidup.
  • Tidak mengikuti fitrah yang pada dasarnya cenderung kepada agama Allah.
  • Tidak mau mempelajari dan menerapkan agama Allah (Islam) dalam kehidupan.
  • Tidak mau kemabali kepada Allah dan tidak bertaqwa kepada-Nya serta melaliakan salat.
  • Mengangkat pemimpin orang-orang yang dimurkai Allah.
  • Suka bersumpah atau bersaksi dengan bohong dan suka berbuat kejahatan, termasuk KKN.
  • Menjadikan sumpah sebagai tameng.
  • Melarang manusia dari jalan Allah dan menerapkan hukum Allah.
  • Mereka menduga dengan harta yang melimpah dan anak yang banyak akan mampu menghalang mereka dari azab Allah, khususnya azab neraka.
  • Mereka menduga berada pada jalan yang benar.
  • Tergoda oleh setan sehingga lupa mengingat Allah.
  • Suka menantang ajaran Allah dan Rasul-Nya.

Dari beberapa ayat yang terkait dengan kriteria Partai Setan tersebut ada hal yang sangat menarik yakni, Allah menjamin para pengikutnya, baik pemimpin maupun anggota dan simpatisannya akan medapatkan kehinaan di dunia dan azab Allah di akhirat kelak.

Kesimpulan

Dari pemaparan beberapa ayat tersebut di atas yang terkait dengan Hizb (حزب) baik dalam bentuk tunggal, jamak, nakirah (tidak definitif) maupun ma’rifah (definitif) dapat disimpulkan sebagai berikut :

  1. Dalam Al-Qur’an, masalah partai adalah masalah besar dan fundamental. Sebab itu aktivitas partai, termasuk mengikuti Pemilu baik dalam memilih para anggota legislatif maupun pemimpin suatu negara (presiden) atau kepala daerah (gubernur dan wakikota/bupati) hanya akan bermanfaat jika masalah partai terlebih dulu dapat diselesaikan. Kalau tidak, hanya akan menjadi hal yang sia-sia dan bahkan bisa menjadi maksiat yang akan menyebabkan Allah murka dan memasukkan para pelakunya ke dalam neraka.
  2. Partai yang memenuhi kriteria Hizbullah disebut dengan Partai Allah atau Partai Islam, kendatipun tidak menamakannya dengan Hizbullah. Sedangkan partai yang memenuhi kriteria Hizbusyyaithan, berarti partai tersebut bukan Parati Allah atau Partai Islam kendatipun namanya Hizbullah atau partai Islam dan kendatipun para pemimpin dan pengikutnya mengklaim Partai Islam atau partai Dakwah Islam.
  3. Sebab itu, dimata Allah, partai itu hanya dua, yakni Partai Allah dan Partai Setan.
  4. Partai Allah atau Partai Islam ialah yang melandasi semua aktivitasnya berdasarkan ajaran Islam secara komprehensif, bukan hanya politik praktis, dapat diuji kebenarannya melalu metodolgi Islam yang benar, bukan hanya klaim belaka, tanpa takut dan khawatir akan bebagai tantangan dan resiko yang harus dihadapi dan tidak meniru cara-cara atau langkah-langkah setan dalam menjalankan semua aktivitasnya. Tujuannyapun jelas, yakni menggapai ridha dan syurga Allah, bukan kekuasaan di dunia, apalagi dalam kondisi pendukungnya masih sedikit dan SDM-nya dalam berbagai lapangan masih lemah. Kemenangan dunia dalam bentuk kekuasaan tidak ada kaitannya dengan kemenangan dakwah jika hukum yang dipakai dan ditegakkan dalam pemerintahan masih saja hukum jahiliyah, mayoritas masyarakatnya masih anti terhadap Islam, dan keadilan Islam belum bisa ditegakkan. Kalau ada yang mengklaim hal tersebut, ketahuilah itu adalah sebuah propaganda kebohongan para pemabuk kekuasaan serta kenikmatan dunia yang sedikit dan menipu itu. Selain dari Partai Allah itu adalah Partai Setan, apapun bentuk dan namanya serta siapapun pemimpin dan pengikutnya.
  5. Partai Allah adalah partai yang menyadari ghoyah / tujuan keberadaannya adalah ibadah kepada Allah. Sebab itu urusannya akan terangkat ke ufuk yang lebih tinggi yang penuh cahaya. Demikian pula halnya dengan intelektualitasnya, perasaannya, dan semua aktivitasnya bersih dari berbagai kekotoran yang dilakukan oleh Partai Setan. Karena semua aktivitasnya diharapkan bernilai ibadah dengan menjaga eksistensinya sebagai khalifah Allah dan berkeinginan kuat menegakkan manhaj Allah di muka bumi, maka labih aula baginya untuk tidak melakukan keobohongan, tipuan, kemungkaran, laghwi, kesombongan serta tidak meggunakan cara-cara dan alat yang kotor, rendahan dan najis sebagaimana yang dilakukan oleh Partai Setan.
  6. Partai Allah adalah partai yang tidak isti’jal (tergesa-gesa) ingin memetik buah sebelum waktunya, tidak menciptakan jalan sulit dan mendaki untuk dirinya. Yang terpenting tujuan ibadah dengan berbagai aktivitasnya yang diklaksanakan secara kontinyu tercapai dan dilakuakn dengan niat yang ikhlas hanya karena Allah beradasarkan kapasitas dan daya dukung yang ada agar terhindar dari kondisi besar pasak dari tiang dan nafsu besar tenaga kurang. Untuk mencapai kondisi seperti itu, nafsu syahwat terhadap harta dan kedudukan harus mampu dikerangkeng kuat-kuat. Rasa takut dan khawatir harus bisa dibuang jauh-jauh dari dalam diri dalam semua marhalah yang harus dilewati. Kenapa harus rakus dan tamak terhadap dunia? Kenapa harus khawatir dan paranoid dalam menjalankan ibadah kepada Allah? Padahal setiap detik dan waktu merasakan rengkuhan tangan dan kasih sayang Allah.
  7. Partai Allah adalah yang memahami sunnatullah dalam perubahan sosial, di samping memahami syariat Allah dan sunnah Rasulullah yang tertulis dan menjadi acuan moral dan teknis operasional kehidupan. Itu yang dilakukan Rasulullah Saw. Rasulullah sadar betul bahwa perubahan sosial itu tidak akan pernah terjadi hanya dengan menguasai pucuk kepemimpinan suatu masyarakat atau negara sekalipun, jika masyarakatnya belum bisa menerima kehadiran manhaj Allah dalam mengatur aturan main kehidupan dengan segala tingkatannya. Negosiasi para petinggi Partai Setan di Makkah agar Rasulullah menerima kepemimpinan tertinggi, harta yang melimpah dan istri yang paling cantik saat itu ditolak mentah-mentah oleh Beliau sambil berkata : Demi Allah, jika kalian mampu meletakkan matahari di tangan kananku dan bulan di tangan kiriku, aku tidak akan meninggalkan urusan (dakwah) ini. Demikian pula halnya bahwa perubahan sosial itu tidak akan pernaha terjadi hanya dengan mengejar kuatntitas dan bukan kualitas.
  8. Sebab itu, Partai Islam adalah partai yang mencontoh Rasul Saw di mana dakwah dengan pengertian yang benar dan disertai dengan aktivitas yang komprehensif yang menjadi panglima. Bukan politik praktis yang menjadi panglima dan menjadi segala tumpuan harapan. Apalagi politik praktis itu dijadikan jalan tol pragmatisme para elitnya. Jika hal tersebut yang terjadi, ketahuilah partai tersebut sedang menuju kehancuran dan sedang menggali lubang kuburnya sendiri karena sudah dapat dipastikan akan melanggar, meninggalkan dan meremehkan berbagai ajaran Islam yang fundamental alias mengikuti langkah-langkah setan. Karena dalam hidup ini Allah telah gariskan hanya ada dua jalan, jalan Allah/ Islam atau jalan setan.
  9. Partai Islam adalah partai yang menjadikan ikatan akidah atau iman sebagai ikatan utama dan terutama, tanpa melihat warna kulit, status sosial, kontribusi harta, keturunan, bahasa dan suku. Semua kerjasama (taawun) yang dibangun dengan siapaun dan kelompok manapun harus mengacu kepada pakem akidah dan aturan main Islam, apalagi dalam memilih pemimpin negara dan pemerintahan lainnya. Lain halnya dengan Partai Setan, akidah, syariaah dan akhlak tidak menjadi ketentuan. Yang penting baginya adalah kepentingan. Warna warni ideologi tidak menjadi perkara selama menguntungkan elite dan grupnya dari sisi dunia.
  1. Partai Islam adalah partai yang memiliki visi dan misi seperti yang diucapkan salah seorang sahabat bernama Rib’i ibnu ‘Amir saat berhadap-hadapan dan bernegosiasi dengan penguasa Persia yang bernama Rustum. Saat menuju ruang kerja (duduk-duduk) sang penguasa, yang dihampari karpet merah yang berkualitas terbaik di dunia saat itu, Rib’i merobek-robek dengan pedangnya sehingga membuat murka prajurit yang sedang bertugas menjaga sang penguasa. Saat ditanya siapa yang mengutus pasukan Islam ke sana dan apa tujuannya, Rib’i menjelaskannya dengan enteng dan terus terang : “Kami diutus Allah kemari dengan misi : - Membebaskan manusia dari mengabdi kepada sesama manusia dan hanya mengabdi kepada Allah Ta’ala. - Menyelamatkan mereka dari kejahatan berbagai ideologi, pemikiran dan konsep dengan keadilan Islam. - Menyelamatkan manusia dari kesempitan (teritorial dan kehdupan) dunia kepada kelapangan dunia dan kelapangan akhirat (masuk syurga).
  2. Sebab itu, partai Allah tidak akan pernah dapat bekerjasama dengan Partai Setan dalam menegakkan hukum dan ajaran Allah. Hal tersebut disebabkan visi dan misi yang berseberangan 180 derajat. Partai Allah menuju keridhaan dan syurga-Nya. Sedangkan Partai Setan menjemput murka dan neraka Allah. Lalu bagaimana jika di antara keduanya bergandeng tangan, apalagi dengan agenda-agenda yang tidak sesuai dengan tujuan Islam, baik yang tersembunyi mapun yang terang-terangan, ketahuilah telah terjadi pencampuran antara Al-Haq dengan Al-Bathil yanag sangat dilarang Allah. Sebab itu, harus segera ditinggalkan, jika nasehat dan peringatan sudah diabaikan.

Saudaraku yang dirahmati Allah. Sebelum melangkah dan berbuat lebih jauh, fikirkanlah masak-masak apakah langkah dan perbuatan itu akan membawa kita bergabung ke dalam Partai Allah atau justru ke dalam Partai Setan. Semoga Allah selalu mejaga kita dari godaan dan tipu daya setan, la’natullahi ‘alih, baik dari kalangan jin maupun manusia. Amin. Wallahu a’lamu bish-showab.

Rabu, 08 April 2009

nyontreng no!!! jaga aqidah yes!!!

Kepada seluruh kaum Muslimin yang juga peduli dan mau ikut berkampanye, melakukan amar ma’ruf nahi munkar melalui media, maka silahkan forward iklan pemilu ini di situs, blog, multiply, friendster, face book, dan seluruh potensi media yang Anda miliki. Semoga sikap ini bisa menjadi nasehat bagi sesama kaum Muslimin yang lain supaya tidak terjerumus syirik demokrasi. Allahu Akbar!

Selasa, 07 April 2009

demo.crazy

DEMO_CRAZY

Kepada mereka yang masih beranggapan bahwa perbedaan pendapat tentang demokrasi adalah perbedaan pendapat dalam ranah wasa’il dan furu’iyyah (cabang agama), tidak menyentuh ranah ushul (pokok agama) dan i’tiqad (keyakinan)….

Kepada para da’i tambal sulam, koleksi dan penggabungan (manhaj dan ideologi)….

Kepada mereka yang masih tidak mengetahui hakekat demokrasi….

Kepada mereka yang mencampuradukkan –secara dusta– demokrasi dengan syura dan Islam….

Kepada mereka yang memandang bahwa demokrasi adalah solusi terbaik untuk menjawab problematika Islam dan kaum muslimin…

Kepada mereka yang mempropagandakan dan menyerukan demokrasi, kemudian setelah itu mengaku dirinya seorang muslim…

Kepada mereka semua kami katakan, demokrasi adalah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Maka tidak boleh ada kepemimpinan yang lebih tinggi dari kedudukan rakyat, dan tidak ada kehendak yang boleh mengatasinya lagi, meskipun itu kehendak Allah. Bahkan dalam pandangan demokrasi dan kaum demokrat, kehendak Allah dianggap sepi dan tidak ada nilainya sama sekali.

Demokrasi adalah suatu sistem yang menjadikan sumber perundang-undangan, penghalalan dan pengharaman sesuatu adalah rakyat, bukan Allah. Hal itu dilakukan dengan cara mengadakan pemilihan umum yang berfungsi untuk memilih wakil-wakil mereka di parleman (lembaga legislatif).

Hal ini berarti bahwa yang dipertuhan, yang disembah dan yang ditaati –dalam hal perundang-undangan– adalah manusia, bukan Allah. Ini adalah tindakan yang menyimpang, bahkan membatalkan prinsip Islam dan tauhid. Di antara dalil yang menunjukkan bahwa sikap demikian merusakkan tauhid adalah,

Keputusan itu hanyalah kepunyaan Allah. dia Telah memerintahkan agar kamu

tidak menyembah selain Dia. (Yusuf:40)

dan dia tidak mengambil seorangpun menjadi sekutu-Nya dalam menetapkan

keputusan (al-Kahfi:26)

Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang

mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah? (asy-Syura:21)

Dan jika kamu menuruti mereka, Sesungguhnya kamu tentulah menjadi orang-

orang yang musyrik.(al-An’am:121)

Oleh karena kalian telah menyembah mereka, dari aspek ketaatan kalian kepada mereka dalam hal menghalalkan yang diharamkan Allah dan mengharamkan sesuatu yang dihalalkan Allah, maka kalian telah berbuat syirik dengan menyembah mereka. Karena syirik itu, sebagaimana disebutkan di dalam al-Qur’an dan sunnah, adalah mengarahan suatu bentuk ibadah kepada selain Allah.

Demikian juga firman Allah

Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai Tuhan

selain Allah (at-Taubah:31)

Mereka dianggap menjadi arbab (tuhan-tuhan) selain dari Allah, karena mereka telah mengaku berhak membuat tasyri’, menghalakan dan mengharamkan sesuatu, dan menetapkan undang-undang.

Demokrasi berarti mengembalikan segala bentuk pertengkaran dan perselisihan, antara hakim dan yang dihukumi kepada rakyat, tidak kepada Allah dan rasul-Nya. Ini adalah penyelewengan dari firman Allah,

Tentang sesuatu apapun kamu berselisih, Maka putusannya (terserah) kepada

Allah. (asy-Syura:10)

Bagi para penganut faham demokrasi akhir ayat ini diganti dengan kalimat, maka putusannya (hukumnya) terserah kepada rakyat, dan bukan diserahkan kepada selain rakyat. Firman Allah,

Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia

kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman

kepada Allah dan hari kemudian.

(an-Nisa’:59)

Allah menetapkan, bahwa di antara konsekuensi iman adalah mengembalikan persoalan yang diperselisihkan kepada Allah dan Rasul-Nya, yakni dengan mengacu kepada al-Qur’an dan as-Sunnah

Demokrasi adalah, sebuah sistem yang berprinsip pada kebebasan berkeyakinan dan beragama. Seseorang –dalam pandangan demokrasi– boleh berkeyakinan apa saja yang ia maui, bebas memilih agama apa saja yang ia inginkan. Ia bebas menentukan apa yang ia inginkan, dan seandainya ia menginginkan untuk keluar dari Islam berganti agama lain, atau menjadi seorang atheis, maka tiada masalah dan ia tidak boleh dipermasalahkan.

Adapun hukum Islam berlawanan dengan hal itu. Hukum Islam tunduk kepada ketentuan yang telah disabdakan Rasulullah saw.

Barangsiapa mengganti agamanya maka bunuhlah ia

Menurut hadis tersebut, orang yang keluar dari Islam harus dibunuh, bukan dibiarkan saja. Demikian juga di dalam sabda Rasulullah saw

Aku diperintahkan untuk memerangi manusia sehingga mereka mengatakan laa

ilaha illallah, mendirikan shalat, menunaikan zakat… (HR Bukhari dan Muslim)

Aku diutus di akhir masa, dengan membawa pedang sehingga Allah semata

disembah dan tidak disekutukan.

Dan telah maklum bahwa Islam memberikan tiga alternatif untuk ahli kitab, yaitu: masuk Islam, membayar jizyah dengan sikap tunduk, atau perang. Adapun kepada para penyembah berhala, seperti kaum musyrik Arab dan lain-lainnya, maka bagi mereka ada dua lternatif yang bisa dipilih, yaitu masuk islam atau diperangi.

Demikian juga ketika Isa as turun –sebagaimana diinformasikan di dalam as-sunnah– maka ia akan mematahkan salib, membunuh babi, menjatuhkan jizyah, dan tidak menerima ajaran para orang-orang yang menyimpang –termasuk ahlul kitab– selain Islam, atau berperang.

Berdasarkan hakekat nas-nas di atas, dan juga nash syara’ lainnya yang mempunyai hubungan dengan masalah ini, kita bisa mendudukkan firman Allah

Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); (al Baqarah:256)

Demokrasi adalah sistem yang berprinsip pada kebebasan berpendapat dan bertindak, apapun bentuk pendapat dan tindakannya, meskipun mencaci maki Allah dan Rasul-Nya serta merusak agama, karena demokrasi tidak mengenal sesuatu yang suci sehingga haram mengkritiknya atau membahasnya panjang lebar. Dan apapun bentuk pengingkaran terhadap kebebasan berarti pengingkaran terhadap sistem demokrasi. Dan itu berarti menghancurkan kebebasan yang suci, dalam pandangan demokrasi dan kaum demokrat.

Inilah hakekat kekufuran terhadap Allah, karena di dalam Islam tidak ada kebebasan untuk mengungkapkan kata-kata kufur dan syirik, tidak ada kebebasan untuk hal yang merusak dan tidak membawa maslahat, tidak ada kebebasan untuk hal yang menghancurkan dan tidak membangun, serta tidak ada kebebasan untuk memecah belah tidak membangun persatuan. Firman Allah

Allah tidak menyukai Ucapan buruk, (yang diucapkan) dengan terus terang

kecuali oleh orang yang dianiaya. (an-Nisa’;148)

Katakanlah: "Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan rasul-Nya kamu selalu

berolok-olok?" Tidak usah kamu minta maaf, Karena kamu kafir sesudah

beriman. (at-Taubah:65-66)

Ayat-ayat ini diturunkan berkenaan dengan sekelompok kaum munafik, ditengah perjalanan menuju medan perang Tabuk, mengatakan tentang para shahabat Rasul, “Kami tidak penah melihat orang yang lebih rakus, lebih dusta kata-katanya dan lebih pengecut ketika pertempuran seperti para qurra’ ini”. Dengan kata-kata itu mereka ditetapkan sebagai orang kafir, setelah sebelumnya dianggap sebagai orang mukmin.

Dan di dalam hadis shahih dinyatakan bahwa Rasulullah saw bersabda,

Sesungguhnya seorang lelaki berkata-kata dengan kata-kata yang dianggapnya

tidak apa-apa…70 .. di neraka

Dari Sufyan bin Abdullah ra, ia berkata.

Aku bertanya, Wahai Rasulullah, “Hal apakah yang paling engkau takutkan dari

diriku?” Beliau memegang mulut beliau sendiri seraya berkata, “Ini” (at-Tirmidzi

dan Ibnu Majah)

Barangsiapa yang dijaga oleh Allah apayang ada di antara kedua bibirnya dan di

antara kedua kakinya, maka ia akan masuk kedalam sorga Adakah orang yang

telungkup di neraka pada wajahnya kecuali orang yang menjaga lisannya

Lalu di manakah demokrasi meletakkan adab-adab mulia yang diajarkan oleh Islam yang hanif ini?

Demokrasi adalah sistem sekular dengan segala cabangnya, di mana ia dibangun di atas pemisahan agama dari kehidupan dan kenegaraan. Allah dalam pandangan demokrasi hanya diposisikan di pojok surau dan masjid saja, adapun wilayah-wilayah selain itu, baik dalam wilayah politik, ekonomi, sosial dan lain-lain maka wilayah itu bukan milik agama, wilayah itu semua adalah milik rakyat. Bahkan rakyat berhak menentukan suatu kebijaksanaan untuk dimasukkan ke dalam masjid, meskipun hal itu sebenarnya mengandung kemadlaratan

Lalu mereka Berkata sesuai dengan persangkaan mereka: "Ini untuk Allah dan

Ini untuk berhala-berhala kami". Maka saji-sajian yang diperuntukkan bagi

berhala-berhala mereka tidak sampai kepada Allah; dan saji-sajian yang

diperuntukkan bagi Allah, Maka sajian itu sampai kepada berhala-berhala

mereka. amat buruklah ketetapan mereka itu. (al-An’am:136)

Mereka mengatakan: "Kami beriman kepada yang sebahagian dan kami kafir

terhadap sebahagian (yang lain)", serta bermaksud(dengan perkataan itu)

mengambil jalan (tengah) di antara yang demikian (iman atau kafir), Merekalah

orang-orang yang kafir sebenar-benarnya. kami Telah menyediakan untuk

orang-orang yang kafir itu siksaan yang menghinakan. (an-Nisa’:150-151)

Merekalah orang-orang yang kafir sebenar-benarnya. (an-Nisa’:151)

Itulah hukum untuk semua bentuk demokrasi sekularisme yang memisahkan antara agama dengan negara dan politik, serta semua urusan hidup manusia, meskipun lisannya menyatakan bahwa dirinya adalah muslim dan mukmin.

Demokrasi adaah sistem yang berpijak pada prinsip kebebasan individual, maka seseorang –menurut ajaran demokrasi– berhak melakukan apa saja yang diinginkannya, termasuk melakukan tindakan yang mungkar, keji maupun yang merusak, tanpa boleh diawasi.

Bila kaum Ibahiyah (permisivisme) sepanjang sejarah dianggap sebagai kelompok-kelompok kafir zindik, lalu apa hukum demokrasi jika bukan itu juga..??

Demokrasi adalah sistem yang menjadikan pilihan rakyat sebagai orang yang berhak memimpin suatu bangsa, meskipun yang dipilih itu adalah orang kafir, zindik ataupun murtad dari agama Allah.

Hal ini bertentangan dengan firman Allah

dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang yang beriman. (an-Nisa’:141)

Hal itu juga bertentangan dengan ijma’ umat Islam, bahwa orang kafir tidak boleh memimpin kaum muslimin, dan negara kaum muslimin.

Demokrasi adalah sistem yang berdiri di atas landasan persamaan semua manusia dalam hak dan kewajiban, dengan menutup mata dari aqidah dan agama yang diikutinya, dan juga menutup mata dari biografi moralnya, sehingga orang yang paling kufur, paling jahat dan paling bodoh disamakan dengan orang yang paling taqwa, paling shalih dan paling pandai dalam menetapkan persoalan yang sangat penting dan urgen, yaitu menyangkut siapa yang berhak memerintah negeri dan masyarakat….

Hal ini bertentangan dengan firman Allah

Maka apakah patut kami menjadikan orng-orang Islam itu sama dengan orang-orang yang berdosa (orang kafir)? Atau Adakah

kamu (berbuat demikian): bagaimanakah kamu mengambil keputusan? (al-Qalam:35-36)

Apakah orang-orang beriman itu sama dengan orang-orang yang fasik? mereka tidak sama. (as-Sajdah;18)

"Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?" (az-Zumar:9)

Dalam pandangan agama Allah mereka tidak sama, tetapi dalam pandangan agama demokrasi mereka sama saja.

Demokrasi didirikan di atas prinsip kebebasan membentuk berserikat dan organisasi, baik berupa organisasi politik (partai) maupun organisasi non politik. Dalam demokrasi bebas berserikat tanpa mempedulikan fikrah dan manhaj yang menadi dasar (asas) organisasi itu. Dengan begitu, setiap kumpulan dan setiap organisasi bebas sebebas-bebasnya untuk menyebarkan kekufuran, kebatilan dan pemikiran yang merusak di seluruh penjuru negeri.

Hal ini dalam pandangan syara’ adalah penerimaan dengan suka rela akan keabsahan dan kebebasan melakukan tindakan kekufuran, kesyirikan, kemurtadan dan kerusakan. Sikap ini bertentangan dengan kewajiban untuk memerangi kekufuran dan kemungkaran, sebagai bentuk dari nahi munkar sebagaimana firman Allah

Di dalam hadis, yang shahih dari Rasulullah saw, beliau bersabda

Barangsiapa di antara kalian melihat kemunkaran maka hendaklah mengubah

dengan tangannya, jika tidak bisa hendaklah ia mengubah dengan lisannya, jika

tidak bisa hendaklah mengubah dengan hatinya, dan itulah selemah-lemah iman

(HR Muslim)

Hadis tersebut menyebutkan bahwa mengingkari dan mengubah kemungkaran adalah kewajiban, meskipun hanya dengan hati ketika tidak mampu lagi melakukan pengingkaran terhadap kemunkaran dengan tangan dan lisan. Adapun berinteraksi dengan kemunkaran sehingga muncul keridloan terhadap kemungkaran tersebut, maka ini merupakan bentuk kekufuran yang nyata. Inilah yang ditunjukkan oleh hadis berikut ini

“Maka siapa yang berjihad (bersungguh-sungguh untuk mengubah

kemungkaran) mereka dengan tangannya maka ia mukmin, dan siapa yang

berjihad dengan lisannya maka ia mukmin, dan yang berjihad dengan hatinya

maka ia mukmin. Dan di balik itu semua tidak ada iman meskipun sebesar biji

sawi”

Maksudnya, diluar pengingkaran dengan hati itu tidak lain adalah keridlaan. Ridla terhadap kekufuran menyebabkan hilangnya iman dari pemeluknya

Demikian juga sabda Rasulullah saw dalam hadis yang menceritakan tentang penumpang perahu yang melobangi dinding perahu karena enggan naik ke atas untuk mengambil air. Di dalam hadis yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dan lainnya itu dikatakan

Jika penumpang kapal lainnya membiarkan tindakan mereka dan apa yang

mereka kehendaki itu maka mereka semua akan tenggelam, tetapi jika mereka

mengambil tindakan terhadap mereka (yang melobangi perahu) maka mereka

akan selamat dan semuanya akan selamat

Inilah perumpamaan demokrasi, ia mengatakan dengan sejelas-jelasnya, “Tinggalkanlah partai-partai yang dengan kebebasannya akan menenggelamkan kapal. Sebab tenggelamnya kapal akan menenggelamkan seluruh penumpangnya, dan segala harta yang ada di dalamnya”.

Tetapi jika hanya meninggalkan partai-partai yang bathil tanpa mengingkari dan memerangi kebathilannya atau kita hanya mengingkari kemungkaran tanpa berusaha mencegah kemunkaran yang akan menyebabkan hancurnya masyarakat, yang didalamnya terdapat kaum muslimin, apakah salah kalau dikatakan bahwa kita telah mengakui keabsahannya dan kebebasannya untuk melakukan apa saja yang dikehendaki dan diinginkan.

Sikap itu –pengakuan akan keabsahan suatu partai yang bathil– juga akan menyebabkan terpecah-belahnya ummat dan melemahkan kekuatannya, merusakkan kesetiaan mereka kepada kebenaran karena bergabung dengan partai syetan yang menyimpang dari kebenaran, dan meninggalkan ajaran yang diturunkan oleh Allah karena mengikuti seruan penguasa.

Hal ini bertentangan dengan firman Allah;

Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah

kamu bercerai berai (Ali Imran:103)

Dan juga bertentangan dengan sabda Rasulullah saw

Hendaklah kalian berada di dalam jama’ah dan jauhilah firqah. Sesungguhnya

syetan bersama dengan orang yang sendirian dan terhadap orang yang berdua

ia menjauh, barangsiapa yang menginginkan sorga yang terbaik maka

hendaklah setia terhadap jama’ah (HR Ahmad dan Tirmidzi)

Demokrasi ditegakkan di atas prinsip menetapkan sesuatu berdasarkan pada sikap dan pandangan mayoritas, apapun pola dan bentuk sikap mayoritas itu, apakah ia sesuai dengan al-haq atau tidak. Al-Haq menurut pandangan demokrasi dan kaum demokrat adalah segala sesuatu yang disepakati oleh mayoritas, meskipun mereka bersepakat terhadap sesuatu yang dalam pandangan Islam dianggap kebathilan dan kekufuran.

Di dalam Islam, al-haq yang mutlak itu harus dipegang sekuat tenaga, meskipun mayoritas manusia memusuhimu, yaitu al-haq yang disebutkan di dalam al-Qur’an dan sunnah. Al-Haq adalah ajaran yang sesuai dengan al-Qur’an dan Sunnah, meskipun tidak disetujui oleh mayoritas manusia, sedangkan a-bathil adalah ajaran yang dinyatakan batil oleh al-Qur’an dan sunnah, meskipun mayoritas manusia memandangnya sebagai kebaikan. Sebab keputusan tertinggi itu hanyalah hak Allah semata, bukan di tangan manusia, bukan pula di tangan suara mayoritas

Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya

mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. mereka tidak lain hanyalah

mengikuti persangkaan belaka, dan mereka tidak lain hanyalah berdusta

(terhadap Allah) (al-An’am:116)

Dan di dalam hadis shahih disebutkan bahwa Rasulullah saw bersabda;

Sesungguhnya di antara para nabi ada yang tidak diimani oleh umatnya kecuali

hanya seorang saja (HR Muslim)

Jika dilihat dengan kaca mata demokrasi yang berprinsip suara mayoritas, di manakah posisi nabi dan pengikutnya ini?

Abdullah bin Mas’ud bertanya kepada Amr bin Maimun, “Jumhur jama’ah adalah orang yang memisahkan diri dari al-Jama’ah, sedangkan al-Jama’ah adalah golongan yang sesuai dengan kebenaran (al-haq) meskipun hanya dirimu seorang”

Ibnu al-Qayyim di dalam kitab A’lamul Muwaqqi’in mengatakan, “ketahuilah bahwa ijma’, hujjah, sawad al-A’dham (suara mayoritas) adalah orang berilmu yang berada di atas al-haq, meskipun hanya seorang sementara semua penduduk bumi ini menyelisihinya.

Demokrasi dibangun di atas prinsip pemilihan dan pemberian suara, sehingga segala sesuatu meskipun sangat tinggi kemuliaannya, ataupun hanya sedikit mulia harus diletakkan di bawah mekanisme ambil suara dan pemilihan. Meskipun yang dipilih adalah sesuatu yang bersifat syar’I (bagian dari syati’ah.

Sikap ini tentu bertentangan dengan prinsip tunduk, patuh, dan menyerahkan diri sepenuh hati serta ridla sehingga menghilangkan sikap berpaling dari Allah, ataupun lancang kepada Allah dan Rasul-Nya. Sikap itulah yang seharusnya dilakukan oleh seorang hamba kepada Tuhannya. Agama seorang hamba tidak akan lurus, dan imannya tidak akan benar tanpa adanya sikap tunduk dan patuh kepada Allah sepeti itu

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasulnya

dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha mendengar lagi Maha

Mengetahui. Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu meninggikan

suaramu melebihi suara nabi, dan janganlah kamu Berkata kepadanya dengan

suara yang keras, sebagaimana kerasnya suara sebagian kamu terhadap

sebagian yang lain, supaya tidak hapus (pahala) amalanmu, sedangkan kamu

tidak menyadari. (al-Hujurat:1-2)

Kalau hanya meninggikan suara di atas suara nabi saw saja bisa sampai menghapuskan pahala amal perbnuatan, padahal amal tidak akan terhapus kecuali dengan kekufuran dan kesyirikan. Lalu bagaimanakah dengan orang yang lebih mengutamakan dan meninggikan hukum buatannya di atas hukum yang ditetapkan oleh Rasulullah. Tak diragukan lagi, tindakan ini jauh lebih kufur dan lebih besar kemurtadannya, serta lebih menghapuskan amalnya

Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan

yang mukmin, apabila Allah dan rasul-Nya Telah menetapkan suatu ketetapan,

akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka (al-Ahzab:36)

Tetapi demokrasi akan mengatakan, “Ya, harus diadakan pemilihan dulu, meskipun nantinya harus meninggalkan hukum Allah”

Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka

menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, Kemudian

mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan

yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya. (an-Nisa:65)

Demokrasi berdiri di atas teori bahwa pemilik harta secara hakiki adalah manusia, dan selanjutnya ia bisa mengusakan untuk mendapatkan harta dengan berbagai car yang ia maui. Ia bebas pula membelanjakan hartanya untuk kepentingan apa saja yang ia maui, meskipun cara yang dipilihnya adalah cara yang diharamkan dan terlarang di dalam agama Islam. Inilah yang disebut dengan sistem kapitalisme liberal

Sikap ini berbeda secara diametral dengan ajaran Islam, dimana mengajarkan bahwa pemilik hakiki harta adalah Allah swt. Dan bahwasannya manusia diminta untuk menjadi khalifah saja terhadap harta kekayaan itu, maka ia bertanggung jawab terhadap harta itu di hadapan Allah; bagaimana ia mendapatkan dan untuk apa dibelanjakan…

Manusia dalam Islam tidak diperbolehkan mencari harta dengan cara haram dan yang tidak sesuai dengan syara’ seperti riba, suap, dan lain-lain…… Demikian juga ia tidak diizinkan untuk membelanjakan harta untuk hal-hal yang haram dan hal-hal yang tidak sesuai dengan tuntunan syara’. Manusia dalam ajaran Islam tidak memiliki dirinya sendiri, sehingga ia bebas melakukan apa saja yang ia inginkan tyanpa mempedulikan petunjuk Islam. Karena itulah melakukan hal-hal yang membahayakan diri dan juga bunuh diri termasuk dosa besar yang terbesar, oleh Allah akan diberikan balasan adzab yang pedih. Pandangan seperti ini bisa kita dapatkan dalam firman Allah

Katakanlah: "Wahai Tuhan yang mempunyai kerajaan, Engkau berikan kerajaan

kepada orang yang Engkau kehendaki dan Engkau cabut kerajaan dari orang

yang Engkau kehendaki. (Ali Imran:26)

Sesungguhnya Allah Telah membeli dari orang-orang mukmin diri dan harta

mereka dengan memberikan surga untuk mereka. mereka berperang pada jalan

Allah; lalu mereka membunuh atau terbunuh. (at-Taubah:111)

Jiwa adalah milik Allah, maka Allah membeli apa yang Dia miliki sendiri –jual beli khusus untuk orang mukmin– untuk menggambarkan pemberian kemuliaan, kebaikan dan keutamaan kepada mereka, sekaligus untuk mendorong mereka supaya berjihad dan mencari kesyahidan

Nabi saw apabila hendak mengirim seseorang menuju medan jihad, beliau berpesan,

Sesungguhnya kepunyaan Allah lah apa yang Dia mabil dan kepunyaan-Nya

juga yang Dia berikan (HR Bukhari dan Abu Dawud)

Selanjutnya, seseorang tidak memiliki sesuatu yang ditunjukkan untuk bisa diambil karena sesungguhnya dia bukanlah pemiliknya, dia hanya mendapatkan titipan saja, sedang pemiliknya adalah Allah swt.

Secara ringkas, inilah demokrasi!!

Berdasarkan penjelasan di atas, maka dengan penuh keyakinan, tanpa ada keraguan sedikit pun kami katakan, bahwa demokrasi dalam pandangan hukum Allah adalah termasuk kekufuran yang nyata, jelas dan tidak ada yang samar, apalagi gelap, kecuali bagi orang yang buta matanya dan buta mata hatinya. Adapun orang yang meyakininya, menyerukannya, menerima dan meridlainya, atau beranggapan –dasar dan prinsip yang mendasari bangunan demokrasi– sebagai kebaikan yang tidak terlarang oleh syara’, maka ia adalah orang yang telah kafir dan murtad dari agama Allah, meskipun namanya adalah nama Islam, dan mengaku dirinya termasuk muslim dan mukmin. Islam dan sikap seperti ini tidak akan pernah bersatu di dalam agama Allah selamanya.

Adapun orang yang mengatakan tentang demokrasi karena ketidakmengertiannya terhadap arti dan asasnya, maka kita akan menahan diri dari mengkafirkan dirinya, tetapi tetap akan mengatakan kekufuran kata-katanya itu, sehingga bisa ditegakkan hujjah syar’iyyah yang menjelaskan kekufuran demokrasi kepadanya, dan letak pertentangannya dengan din Islam. Sebab demokrasi termasuk ke dalam suatu terminologi dan faham yang dibuat dan problematik bagi kebanyakan orang. Dengan itulah bagi orang yang tidak mengerti bisa dimaafkan, sampai ditegakkan hujjah kepadnaya, agar ketidakmengertiannya itu menjadi sirna.

Demikian juga kepada mereka yang, menyebut-nyabut istilah demokrasi tetapi dengan makna dan dasar yang berbeda dengan apa yang telah kami sebutkan di atas, seperti orang yang meminjam istilah tetapi yang dimaksudkan adalah permusyawarahan, atau yang dimaksudkan adalah kebebasan berpendapat dan bertindak dalam hal yang membangun, atau melepaskan ikatan pengekang yang menghalangi manusia dari membiasakan diri dengan hak-hak syar’i dan hak-hak asasi mereka, dan bentuk-bentuk penggunaan istilah demokrasi dengan maksud yang berbeda dengan hakekat demokrasi lain, maka ia tidak boleh dikafirkan. Inilah sikap adil seimbang, yang sesuai dengan kaidah-kaidah dan pokok-pokok agama.

Adapun hukum Islam berkenaan dengan kegiatan di lembaga legislatif, maka kami katakan, “Sesungguhnya kegiatan legislasi (kegiatan di lembaga legislatif) –adalah kegiatan yang telah menyeleweng dari aqidah dan syari’ah yang tak mungkin untuk ditebus— hal itu termasuk kekufuran yang sangat jelas. Maka tidak boleh ada hukum atau pendapat yang lain, selain hukum kufur.

Adapun bagi anggota legislatif maka mereka adalah orang yang meniti jalan kedhaliman. Tentang mereka itu kami katakan, “Orang yang ikut menjadi aggota parlemen karena dilatarbelakangi oleh pemahaman yang rancu (syubhat), ta’wil, dan kesalahfahaman maka mereka tidak kita kafirkan –meskipun tetap kita katakan bahwa aktifitas yang mereka lakukan adalah aktifitas kufur. Kita akan tetap berpendapat demikian sampai ditegakkan hujjah syar’iyyah, sehingga hilanglah kesalahfahaman, ketidaktahuan dan kerancuan pemahaman mereka.

Adapun orang menjadi anggota legislatif apabila dilatarbelakangi oleh sikap yang menyimpang dari syari’ah atau bahkan tidak mempedulikan syari’ah, maka mereka itu adalah orang kafir, karena tidak ada mawani’ (penghalang) takfir pada dirinya,sementara syarat-syarat takfir telah ada di dalam dirinya. Allahu a’lam

Inilah demokrasi, inilah hukumnya, hukum orang yang menyerukannya dan yang mengikutinya, apakah kau bersedia untuk meninggalkannya, apakah kau mau meninggalkannya?

Allahumma inni qod ballaghtu, fasyhad

Ya Allah, Sesungguhnya aku telah menyampaikan, maka saksikanlah